captain claw

Rabu, 11 Juni 2014

Candi Jawi

Candi Jawi

 

Candi Jawi (nama asli: Jajawa) adalah candi yang dibangun sekitar abad ke-13 dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu-Buddha Kerajaan Singhasari yang terletak di terletak di kaki Gunung Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia, sekitar 31 kilometer dari kota Pasuruan. Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara.

Latar belakang

Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Siwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut ajaran sinkretisme Siwa-Buddha. Alasan Kertanegara membangun candi Jawi jauh dari pusat kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara. Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan Cayaraja.
Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), dia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.

Struktur dan kegunaan bangunan

Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas, sekitar 40 x 60 meter persegi, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2 meter. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga teratai. Bentuk candi berkaki Siwa, berpundak Buddha. Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 m dan lebar 9,5 m. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya. Pintunya menghadap ke timur. Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai alasan untuk mempertegas bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina (upacara penghormatan terhadap dewa, disebut Dewayadnya atau dewayajña), karena biasanya candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat yang dipercaya sebagai tempat persemayaman kepada Dewa. Candi Jawi justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan bahwa candi ini tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena pengaruh dari ajaran Buddha.

Arkeologi

Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di dindingnya. Sayangnya, relief ini belum bisa dibaca. Bisa jadi karena pahatannya yang terlalu tipis, atau karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Negarakertagama yang secara jelas menceritakan candi ini tidak menyinggung sama sekali soal relief tersebut. Berbeda dengan relief di Candi Jago dan Candi Penataran yang masih jelas. Salah satu fragmen yang ada pada dinding candi, menggambarkan sendiri keberadaan candi Jawi tersebut beserta beberapa bangunan lain disekitar candi. Nampak Jelas pada fragmen tersebut pada sisi timur dari candi terdapat candi perwara sebanyak tiga buah, namun sayang sekali kondisi ketiga perwara tersebut saat ini bisa dibilang rata dengan tanah. demikan juga di fragmen tersebut terlihat jelas bahwa terdapat candi bentar yang merupakan pintu gerbang candi, terletak sebelah barat. Sisa-sisa bangunan tersebut memang masih ada, namun bentuknya lebih mirip onggokan batu bata, karena memang gerbang candi tersebut dibangun dari batu bata merah.
Disamping relief yang terletak dibagian dinding candi, terdapat pula relief lain yang terletak dibagian dalam candi. Terletak tepat dibagian tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari bagian dalam candi, terdapat sebuah relief Dewa Surya yang terpahat jelas.
Keunikan lain dari Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri dari batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Sehingga timbul dugaan bahwa bisa jadi candi ini dibangun dalam dua periode yang berbeda teknik bangunan.

Sejarah candi menurut Negarakertagama

Nagarakretagama menyebut candi ini dengan nama Jajawa yang dikunjungi Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk sekitar tahun 1359 Masehi. Sang Raja singgah di candi ini untuk memberikan penghormatan dan persembahan untuk memuliakan kakek buyutnya Prabu Kertanegara. Negarakertagama menyebutkan, di dalam bilik candi terdapat arca Siwa. Di atasnya arca Siwa terdapat arca Maha Aksobaya yang kini telah hilang. Ada sejumlah arca bersifat Siwa, seperti Nandiswara, Durga, Ganesa, Nandi, dan Brahma.
Kakawin Negarakertagama menyebutkan bahwa pada saat candrasengkala atau pada tahun Api Memanah Hari (1253 Saka) candi itu disambar petir. Saat itulah arca Maha Aksobaya raib. Dikisahkan Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk yang mengunjungi candi itu kemudian bersedih atas hilangnya arca tersebut. Walaupun telah ditemukan arca Maha Aksobaya yang kini disimpan di Taman Apsari, depan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, yang kemudian dikenal dengan Patung Joko Dolog, arca ini bukan berasal dari Candi Jawi.
Ditulis bahwa setahun setelah Candi Jawi disambar petir, telah dilakukan pembangunan kembali. Pada masa inilah diperkirakan penggunaan batu putih. Namun, asal batu putih tersebut masih dipertanyakan, karena kawasan yang termasuk kaki Gunung Welirang kebanyakan berbatu hitam, dan batu putih hanya sering dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.

Pemugaran dan usaha konservasi

Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 dalam masa pemerintahan Hindia Belanda karena kondisinya sudah runtuh. Akan tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena sebagian batunya hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982. Kini biaya pemeliharaan didapatkan dari sumbangan sukarela dari pengunjung maupun LSM lainnya.
Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang. Arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan. Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan. Mungkin saja sudah berkeping-keping.
Di gudang belakang candi memang terdapat potongan-potongan patung. Selain itu, terdapat pagar bata merah seperti yang banyak dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit, seperti Candi Tikus di Trowulan dan Candi Bajangratu di Mojokerto.

Pemindahan peninggalan bersejarah

Arca-arca peninggalan yang ditemukan di Candi Jawi telah dipindahkan, sebagian besar ke Museum, dan sebagian ke tempat komersial. Pemindahan arca-arca dari Candi Jawi ataupun candi lainnya ini mendapat banyak kritik dari sejarawan dan masyarakat setempat, karena walaupun pada satu sisi memang tepat untuk menghindarkan dari pencurian, pemindahan ini dianggap dapat mengurangi substansi sejarah peninggalan tersebut sehingga menjadi tidak lengkap untuk diapresiasi. Arca-arca yang dipindah dari lingkungan aslinya menjadi kehilangan nilai historisnya. Arca candi Jawi yang disimpan di Hotel Tugu Park, Malang, sebagai contoh, memang terawat baik, namun dianggap tercabut dari nilai historis dan ritualitasnya dna menjadi suatu hal yang cenderung dilematis.

Galeri foto

 Candi Jawi A.JPGCandi Jawi B.JPGCandi Jawi C.JPGCandi Jawi D.JPG

Candi Kadisoka

Candi Kadisoka

 

Candi Kadisoka adalah sebuah candi yang telah digali sebagian, dianggap sebagai situs Hindu purbakala, di Sleman, Yogyakarta, Indonesia. Candi ini tercatat sebagai Cagar Budaya Indonesia.

Tata letak dan bangunan

Kadikusumo , yang berukuran 6,49 meter kali 6,9 meter terletak di sebidang tanah 200 meter persegi. Tanah tersebut ditanami beberapa spesies tumbuhan, seperti waru dan puring. Candi ini terletak di Dusun Kadisoka, Kalasan, Sleman, Yogyakarta, Indonesia, bagian dari Dataran Kewu. Candi ini dikelilingi ladang pertanian, dengan Sungai Kuning yang mengalir 100 meter di timur. Candi ini terletak sekitar 8 kilometer ke utara dari Candi Sambisari dan terletak di ketinggian 150 meter.
Candi ini terbuat dari batu andesit, batu yang berada dalam kondisi cukup baik , dengan sedikit pertumbuhan mikroba. Gaya arsitekturnya dianggap cukup mirip dengan banyak candi lain yang ditemukan di Dataran Kewu, berdasarkan bentuk dasarnya yang berupa bel dan setengah lingkaran. Candi ini berorientasi ke arah barat, meskipun meleset sekitar 10 derajat.
Kadisoka dikelola oleh dua orang, bertugas membersihkan situs, pelaporan kerusakan, dan menerima pengunjung (baik itu wisatawan atau peziarah). Akses ke situs agak terbatas karena jalan tanah, yang menjadi becek saat musim hujan.

Sejarah

Kadisoka diperkirakan dibangun sekitar abad ke-8. Menurut Véronique DeGroot, candi ini tidak selesai dibangun; Ia menulis bahwa hanya sekitar lima lapisan dasar candi yang diselesaikan. Candi ini terkubur oleh lahar yang mengalir dari Sungai Kuning pada dua waktu yang terpisah, diperkirakan setidaknya berselisih satu abad. Candi ini akhirnya diketemukan terkubur sedalam 3 meter dalam tanah.
Candi di Kadisoka umumnya diidentifikasi sebagai candi Hindu Nusantara, berdasarkan tata letak garbagriha (bilik utama / cella): di pusatnya, arkeolog telah menemukan lubang, sebuah fitur yang diperkirakan hanya ditemukan di kuil-kuil Hindu.
Candi ini ditemukan kembali oleh seorang penambang pasir pada tanggal 7 Desember2000 dan dilaporkan kepada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Setelah pemeriksaan awal tampak menjanjikan, pada Februari 2001 penggalian dimulai; dan segera menemukan keseluruhan pondasi timur candi serta lubang candi. Dalam lubang tersebut ekskavator menemukan beberapa batu mulia, emas, dan sebuah kotak yang berisi sebuah plakat emas yang diukir dengan bunga teratai. Pada 2010 sebagian besar candi masih terkubur.

Candi Jago

Candi Jago

 

Candi Jago berasal dari kata "Jajaghu", didirikan pada masa Kerajaan Singhasari pada abad ke-13. Berlokasi di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, atau sekitar 22 km dari Kota Malang, pada koordinat 8°0′20,81″LU 112°45′50,82″BT / 8°LS 112,75°BT.
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Sengan keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.
Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada Prasasti Manjusri. Sekarang Arca ini tersimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D. 214.

Struktur Candi Jago

Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).
Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.
Salah satu patung yang awalnya terdapat pada Candi Jago, yang merupakan perlambangan Dewi Bhrkuti
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.

Asal Usul

Candi ini mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara untuk menghormati ayahandanya, raja Wisnuwardhana, yang mangkat pada tahun 1268. Dan kemudian Adityawarman mendirikan candi tambahan dan menempatkan Arca Manjusri

Candi Sewu

Candi Sewu

Candi Sewu viewed from the south, 23 November 2013.jpg 

Candi Sewu atau Manjusrighra adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.
Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

 

Sejarah

Salah satu dari candi penjuru di Candi Sewu
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana Manjusrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementara Vajrajasana bermakna tempat Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.
Kompleks candi ini mungkin dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Setelah dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya candi Sewu yang bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks candi ini, candi Sewu diduga merupakan Candi Buddha Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama buddha yang penting di masa lalu. Candi ini terletak di lembah Prambanan yang membentang dari lereng selatan gunung Merapi di utara hingga pegunungan Sewu di selatan, di sekitar perbatasan Yogyakarta dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di lembah ini tersebar candi-candi dan situs purbakala yang berjarak hanya beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan kawasan penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan kehidupan urban masyarakat Jawa kuna.
Candi ini rusak parah akibat gempa pada bulan Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan. Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan candi utama menderita kerusakan paling parah. Pecahan bebatuan berserakan di atas tanah, retakan dan rekahan antar sambungan batu terlihat. Untuk mencegah keruntuhan bangunan, kerangka besi dipasang di keempat sudut bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh candi utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk pengunjung beberapa pekan kemudian setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi utama tetap ditutup dan tidak boleh dimasuki demi alasan keamanan.
Kini setelah dipugar, kerangka logam penopang candi utama telah dilepas dan pengunjung dapat memasuki ruangan dalam candi utama.

Kompleks candi

Kompleks candi Sewu adalah kumpulan candi Buddha terbesar di kawasan sekitar Prambanan, dengan bentang ukuran lahan 185 meter utara-selatan dan 165 meter timur-barat. Pintu masuk kompleks dapat ditemukan di keempat penjuru mata angin, tetapi mencermati susunan bangunannya, diketahui pintu utama terletak di sisi timur. Tiap pintu masuk dikawal oleh sepasang arca Dwarapala. Arca raksasa penjaga berukuran tinggi sekitar 2,3 meter ini dalam kondisi yang cukup baik, dan replikanya dapat ditemukan di Keraton Yogyakarta.
Aslinya terdapat 249 bangunan candi di kompleks ini yang disusun membentuk mandala wajradhatu, perwujudan alam semesta dalam kosmologi Buddha Mahayana. Selain satu candi utama yang terbesar, pada bentangan poros tengah, utara-selatan dan timur-barat, pada jarak 200 meter satu sama lain, antara baris ke-2 dan ke-3 candi Perwara (pengawal) kecil terdapat 8 Candi Penjuru, candi-candi ini ukurannya kedua terbesar setelah candi utama. Aslinya di setiap penjuru mata angin terdapat masing-masing sepasang candi penjuru yang saling berhadapan, tetapi kini hanya candi penjuru kembar timur dan satu candi penjuru utara yang masih utuh. Berdasarkan penelitian fondasi bangunan, diperkirakan hanya satu candi penjuru di utara dan satu candi penjuru di selatan yang sempat dibangun, keduanya menghadap timur. Itu berarti mungkin memang candi penjuru utara sisi timur dan penjuru uselatan sisi timur memang tidak pernah (tidak sempat) dibangun untuk melengkapi rancangan awalnya.
Candi perwara (pengawal) yang berukuran lebih kecil aslinya terdiri atas 240 buah dengan disain yang hampir serupa dan tersusun atas empat barisan yang konsentris. Dilihat dari bagian terdalam (tengah), baris pertama terdiri atas 28 candi, dan baris kedua terdiri atas 44 candi yang tersusun dengan interval jarak tertentu. Dua barisan terluar, baris ketiga terdiri dari 80 candi, sedangkan baris keempat yang terluar terdiri atas 88 candi-candi kecil yang disusun berdekatan.
Dari keempat baris candi perwara ini terdapat dua junis rancangan candi perwara; baris keempat (terluar) memiliki rancang bentuk yang serupa dengan baris pertama (terdalam), yaitu pada bagian penampang gawang pintunya, sedangkan baris kedua dan ketiga memiliki rancang bentuk yang lebih tinggi dengan gawang pintu yang berbeda. Banyak patung dan ornamen yang telah hilang dan susunannya telah berubah. Candi-candi perwara ini diisi arca-arca Dhyani Buddha. Ditemukan empat jenis Dhyani Buddha di kompleks Candi Sewu. Arca-arca buddha yang dulu mengisi candi-candi ini mengkin serupa dengan arca buddha di Borobudur.
Candi-candi yang lebih kecil ini mengelilingi candi utama yang paling besar tapi beberapa bagiannya sudah tidak utuh lagi. Di balik barisan ke-4 candi kecil terdapat pelataran beralas batu dan ditengahnya berdiri candi utama.

Candi utama

Candi utama memiliki denah poligon bersudut 20 yang menyerupai salib atau silang yang berdiameter 29 meter dan tinggi bangunan mencapai 30 meter. Pada tiap penjuru mata angin terdapat struktur bangunan yang menjorok ke luar, masing-masing dengan tangga dan ruangan tersendiri dan dimahkotai susunan stupa. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Ruangan di empat penjuru mata angin ini saling terhubungkan oleh galeri sudut berpagar langkan. Berdasarkan temuan pada saat pemugaran, diperkirakan rancangan awal bangunan hanya berupa candi utama berkamar tunggal. Candi ini kemudian diperluas dengan menambahkan struktur tambahan di sekelilingnya. Pintu dibuat untuk menghubungkan bangunan tambahan dengan candi utama dan menciptakan bangunan candi utama dengan lima ruang. Ruangan utama di tengah lebih besar dengan atap yang lebih tinggi, dan dapat dimasuki melalui ruang timur. Kini tidak terdapat patung di kelima ruangan ini.. Akan tetapi berdasarkan adanya landasan atau singgasana batu berukir teratai di ruangan utama, diduga dahulu dalam ruangan ini terdapat arca bodhisatwa Manjusri atau buddha dari bahan perunggu yang tingginya mencapai 4 meter. Akan tetapi kini arca itu telah hilang, mungkin telah dijarah untuk mengambil logamnya sejak berabad-abad lalu.

Candi Bahal

Candi Bahal

 

Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi adalah kompleks candi Buddha aliran Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yaitu sekitar 3 jam perjalanan dari Padangsidempuan atau berjarak sekitar 400 km dari Kota Medan. Candi ini terbuat dari bahan bata merah dan diduga berasal dari sekitar abad ke-11 dan dikaitkan dengan Kerajaan Pannai, salah satu pelabuhan di pesisir Selat Malaka yang ditaklukan dan menjadi bagian dari mandala Sriwijaya.
Candi ini diberi nama berdasarkan nama desa tempat bangunan ini berdiri. Selain itu nama Portibi dalam bahasa Batak berarti 'dunia' atau 'bumi' istilah serapan yang berasal dari bahasa sansekerta: Pertiwi (dewi Bumi).
Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Jabung yang ada Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur

Kompleks candi

Candi ini merupakan kompleks candi (dalam istilah setempat disebut biaro) yang terluas di provinsi Sumatera Utara, karena arealnya melingkupi kompleks Candi Bahal I, Bahal II dan Bahal III. Seluruh bangunan di ketiga kompleks candi dibuat dari bata merah, kecuali arca-arcanya yang terbuat dari batu keras. Masing-masing kompleks candi dikelilingi oleh pagar setinggi dan setebal sekitar 1 m yang juga terbuat dari susunan bata merah. Di sisi timur terdapat gerbang yang menjorok keluar dan di kanan-kirinya diapit oleh dinding setinggi sekitar 60 cm. Di setiap kompleks candi terdapat bangunan utama yang terletak di tengah halaman dengan pintu masuk tepat menghadap ke gerbang. Berikut adalah deskripsi kompleks candi ini.

Bahal I

Candi Bahal 1 dibangun di pelataran seluas sekitar 3000 m² yang dikelilingi pagar dari susunan batu merah setinggi 60 cm. Dinding pagar tersebut cukup tebal, yaitu sekitar 1 m. Bangunan utama Candi Bahal I terletak di tengah halaman, menghadap ke gerbang. Di antara bangunan utama dan pintu gerbang terdapat pondasi batur atau panggung berbentuk dasar bujur sangkar berukuran sekitar 7 x 7 m. Bangunan utama Candi Bahal I merupakan yang terbesar dibandingkan dengan bangunan utama Candi Bahal II dan II. Bangunan utama ini terdiri atas susunan alas atau tatakan, kaki, tubuh dan atap candi. Tatakan candi berdenah dasar bujur sangkar seluas sekitar 7 meter persegi dengan tinggi sekitar 180 cm. Di atas tatakan berdiri kaki candi setinggi 75 cm, dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar seluas 6 meter persegi. Selisih luas tatakan dan kaki candi membentuk selasar mengelilingi kaki candi.
Candi Bahal I menghadap ke Timur, di pertengahan sisi timur, tepat di depan tangga naik ke kaki permukaan candi, tatakan candi menjorok ke luar sepanjang sekitar 4 meter dengan lebar sekitar 2 m. Di ujung pelataran memanjang tersebut terdapat tangga yang diapit oleh sepasang kepala makara di pangkalnya. Sepanjang sisi utara dan selatan dinding jalan pelataran menuju tatakan terdapat pahatan berbentuk orang dalam berbagai posisi. Walaupun banyak bagian pahatan yang sudah rusak, masih terlihat bentuk orang yang tampak seperti sedang menari. Di sepanjang sisi timur atau depan tatakan terdapat pahatan berbentuk raksasa yang sedang duduk.
Tubuh candi berupa bangunan bersegi empat dengan alas berbentuk bujur sangkar seluas 5 meter persegi. Selisih luas tubuh candi dengan permukaan kaki candi membentuk selasar selebar sekitar 1 m. Untuk mencapai pintu masuk ke ruang di dalam tubuh candi terdapat tangga setinggi sekitar 60 cm dari permukaan kaki candi. Dalam tubuh candi terdapat ruangan kosong berukuran sekitar 3 meter persegi yang dikelilingi dinding setebal sekitar 1 meter. Lebar ambang pintu masuk sekitar 120 x 250 cm. Tidak terdapat pahatan yang menghiasi bingkai pintu. Atap Candi Bahal I berbentuk dagoba, yaitu stupa berbentuk silinder, dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Pahatan untaian bunga melingkari tepian atap.

Bahal II

Candi Bahal II terletak sekitar 100 meter dari jalan dan sekitar 300 meter dari Candi Bahal I. Pelataran Candi Bahal II sama luasnya dengan pelataran Candi Bahal I dan juga dikelilingi pagar bata, akan tetapi ukuran bangunan utamanya lebih kecil dari bangunan utama Candi Bahal I. Pada pertengahan sisi timur, dinding halaman melebar, membentuk lantai yang menjorok sekitar 4 m ke arah luar halaman candi. Dinding setinggi sekitar 70 cm mengapit sisi kanan dan kiri lantai tersebut sampai ke batas tangga yang terdapat sisi timur.
Bangunan utama Candi Bahal II terdiri atas susunan tatakan, kaki, tubuh dan atap candi. Tatakan candi berdenah dasar bujur sangkar seluas sekitar 6 meter persegi dan setinggi sekitar 1 meter. Di depan pangkal tangga bangunan utama terdapat sepasang kepala makara dengan mulut terbuka. Di atas tatakan berdiri kaki candi setinggi 75 cm, dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar seluas 5 meter persegi. Selisih luas tatakan dan kaki candi membentuk selasar mengelilingi kaki candi.
Dalam tubuh Candi Bahal II juga terdapat ruangan kosong berukuran sekitar 3 meter persegi, dikelilingi dinding setebal sekitar 1 meter. Pintu masuk selebar sekitar 120 x 250 cm menghadap ke timur tanpa pahatan hiasan apapun pada bingkainya. Dinding tatakan, kaki dan tubuh candi juga polos tanpa hiasan pahatan. Atap Candi Bahal II berbentuk limas dengan puncak persegi empat.

Bahal III

Candi Bahal II berjarak sekitar 100 meter dari jalan, namun untuk mencapai lokasi Candi Bahal III pengunjung harus melalui jalan setapak, pematang sawah dan perumahan penduduk. Terdapat banyak kemiripan antara Candi Bahal III dan kedua candi Bahal lainnya. Pelataran candi yang luasnya relatif sama juga dikelilingi pagar batu bata dengan ketebalan dan ketinggian yang sama. Gerbang untuk masuk ke halaman juga terletak di sisi timur. Sama halnya dengan bangunan utama Candi Bahal III yang terletak di tengah pelataran. Gerbang Candi Bahal III lebih mirip dengan gerbang Candi Bahal I, karena tangga naik ke gerbang terletak di sisi utara dan selatan. Tangga di gerbang Candi Bahal II terletak di timur.
Ukuran dan bentuk bangunan utama Candi Bahal III sangat mirip dengan bangunan utama Candi Bahal II. Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi juga terletak di timur. Tidak terdapat pahatan pada bingkai pintu, namun sepanjang dinding tatakan dihiasi pahatan dengan motif yang mirip bunga. Atap Candi Bahal II berbentuk limas dengan puncak persegi empat. Mirip dengan atap Candi Bahal II.
Para peneliti mengungkapkan bahwa candi di desa Bahal ini adalah tiga di antara 26 runtuhan candi yang tersebar seluas 1.500 km² di situs percandian Padanglawas, yang berarti candi-candi yang terletak di padang luas yang mencakup, di antaranya:
  1. Candi Pulo
  2. Candi Barumun
  3. Candi Singkilon
  4. Candi Sipamutung
  5. Candi Aloban
  6. Candi Rondaman Dolok
  7. Candi Bara
  8. Candi Magaledang
  9. Candi Sitopayan
  10. Candi Nagasaribu.
Kemungkinan, persawahan dan perkampungan di sekitar candi-candi tersebut tadinya merupakan padang yang sangat luas. Dari sekian banyak candi Padanglawas hanya Candi Bahal yang sudah selesai dipugar, Candi Sipamutung dan Candi Pulo sedang dalam proses renovasi, sedangkan candi lainnya masih berupa reruntuhannya.

Candi Jabung

Candi Jabung

 

Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Candi hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja.
Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara.

Arsitektur

Candi Jabung berdiri di sebidang tanah berukuran 35 meter x 40 meter. Pemugaran secara fisik pada tahun 1983-1987, penataan lingkungan luasnya bertambah 20,042 meter persegi dan terletak pada ketinggian 8 meter di atas permukaan air laut. Situs terdiri dari dua bangunan utama yang terdiri atas satu bangunan besar dan yang satu bangunan kecil dan biasa disebut "Candi Sudut". Yang menarik adalah material bangunan candi yang tersusun dari batu bata merah berkualitas tinggi yang diukir untuk membentuk relief.
Bangunan terbuat dari batu bata dan ukuran candi Jabung adalah panjang 13,13 meter, lebar 9,60 meter dan tinggi 16,20 meter. Candi Jabung menghadap ke arah Barat, pada sisi barat menjorok ke depan, merupakan bekas susunan tangga naik memasuki Candi. Disebelah Barat Daya halaman candi terdapat bangunan candi kecil. Menara sudut di perkirakan penjuru pagar, fungsinya sebagai pelengkap bangunan induk Candi Jabung. Candi Menara sudut terbuat dari bahan batu bata, bangunan candi tersebut berukuran tiap-tiap sisi 2,55 meter, tinggi 6 meter.
Arsitektur Candi Jabung sangat menarik, terdiri atas bagian batur, kaki, tubuh dan atap, pada bagian tubuh bentuknya bulat (silinder segi delapan ) berdiri di atas bagian kaki candi yang betingkat tiga berbentuk persegi. Sedangkan pada bagian atapnya dagoda (stupa) tetapi pada bagian puncak sudah runtuh dan atapnya berhias motif sulur-suluran. Di dalam bilik candi terdapat lapik arca, berdasarkan inskripsi pada gawang pintu masuk candi Jabung didirikan tahun 1276 saka (1354 Masehi) pada masa awal pemerintahan Raja Hayam Wuruk.

Deskripsi

 
Candi terdiri dari empat bagian, dari bagian terbawah; bagian batur, kaki, tubuh, dan atap candi.

Batur

Batur candi berukuran panjang 13,11 meter, lebar 9,58 meter di atas batur terdapat selasar keliling yang sempit dan terdapat beberapa panil relief yang menggambarkan kehidupan sehari-hari.
  • Seorang pertapa memakai sorban berhadapan dengan muridnya.
  • Dua orang lelaki yang sedang berada di dekat sumur, salah seorang memegangi tali timba.
  • Diantara panil-panil terdapat panil berbentuk bulat menonjol semacam medalion dan relifnya di dalam medalion sudah aus.
  • Singa yang saling berhadapan.

Kaki candi

Pada dasarnya bentuknya segi empat, bagian barat atau depan terdapat bagian yang menjorok keluar atau bagian konstruksi yang mendukung tangga naik. Candi Jabung terdapat sebuah bilik segi empat dengan ukuran 1,30 x 1,30 meter tanpa terdapat pintu masuk untuk memasukinya. Bagian kaki candi dibagi atas dua bagian.
  1. Kaki candi tingkat pertama Dimulai dari lis di atas batur yang berbentuk agief (3,51 genta) dengan hiasan daun padina, kemudian lis datar dengan ketinggian kurang lebih 60 cm, di atas lis-lis terdapat bidang panil yang terdiri dari 30 lapis bata merah atau setinggi 12 meter pada bidang panil dipahatkan motif medalion. Bidang tegak dari ornamen daun-daunan yang kesemuanya sudah tidak begitu jelas karena aus. Pada bagian tegak umumnya di pahatkan lukisan manusia, binatang dan pohon-pohonan.
  2. Kaki candi tingkat kedua Bentuknya hampir sama dengan bagian kaki candi tingkat pertama, dimulai hiasan daun padma dan lis datar. Dibeberapa bagian terdapat bidang vertical selebar 50 cm berisi ukiran kala dan ornamen daun-daunan.

Tubuh candi

 Bagian tubuh candi terdapat relief manusia, rumah dan pohon-pohonan, pada sudut tenggara terdapat relief yang menggambarkan wanita naik di punggung seekor ikan, relief ini dalam agama Hindu mengisahkan cerita pelepasan jiwa Sri Tanjung. Kisah ini melambangkan kesetian seorang perempuan pada suaminya. Relief Sri Tanjung juga terdapat di Candi Penataran di Blitar, Candi Surawana di Kediri dan Gapura Bajangratu di Trowulan, Mojokerto. Pada bagian tengah tubuh candi melalui pintu tersebut terdapat bilik candi yang berukuran 2,60 x 2,58 meter dan tinggi 5,52 meter dan pada bagian atasnya terdapat batu penutup cungkup yang berukir. Setelah bagian dasar tubuh candi yang berbentuk persegi, diteruskan dengan tubuh candi berbentuk tabung (silinder) dihias relief dan ukiran yang indah dan halus pahatannya. Di atas gawang pintu dan relung di semua penjuru terpahat bentuk kala, di bagian bawah ambang pintu bentuknya segi empat menonjol keluar yang tengahnya dipahatkan kepala naga. Pada atas bingkai pintu ada balok batu kali terdapat pahatan roset ditengahnya bertuliskan angka tahun saka 1276 saka atau 1354 masehi merupakan bukti masa pembangunan candi Jabung.

Atap candi

Sebagian besar bagian atap candi sudah hilang. Dari sisa-sisanya kemungkinan besar puncaknya berbentuk stupa dan atapnya berhias motif sulur-suluran.

Lingkungan sekitar

Candi ini berjarak hanya sekitar 5 km dari Kecamatan Kraksaan atau 500 meter sebelah tenggara kolam renang Jabung Tirta yang berada di pinggir jalan raya Surabaya - Banyuwangi. Situs ini, sebagaimana umumnya candi di Indonesia, diselaraskan dengan gunung. Jika dikaitkan dengan mata air di sekitarnya, mungkin sekali sumber mata air di Desa Tamansari (Kraksaan) atau di sekitar desa Taman-Petunjungan (Paiton) dahulu berperan dalam kegiatan ritual di Candi Jabung. Di Desa Wangkal di Kecamatan Gading, ditemukan mata air dengan batu bertulis, sehingga rupanya mata air ini juga merupakan petilasan penting. Hal ini menjadi petunjuk adanya rangkaian ibadah antara Candi Kedaton di Kecamatan Tiris dengan candi ini.

 

Candi Gampingan

Candi Gampingan

 

Candi Gampingan adalah sebuah kompleks candi Buddha yang berada di dusun Gampingan, Kelurahan Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, yaitu di sebelah timur kota Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada saat ditemukan pada tahun 1995 oleh pembuat bata, candi ini terpendam tanah. Walaupun sampai sekarang belum sepenuhnya selesai dipugar, kompleks reruntuhan candi ini terlihat mempunyai tujuh buah bangunan candi yang tidak utuh, dengan bangunan utama berukuran kira-kira 5 m x 5 m dan tinggi 1,2 meter.
Pada saat ditemukan, dalam candi ini terdapat tiga buah arca Dhyani Buddha Wairocana yang terbuat dari perunggu, dua buah arca Jambhala dan Candralokeswara dari batu andesit, benda-benda dari emas, dan beberapa benda keramik. Pada bagian kaki dari Candi Gampingan ini terdapat relief binatang katak dan unggas (burung pelatuk, burung gagak, dan ayam jantan). Dengan adanya arca Jambhala dan Dhyani Buddha Wairocana, maka diperkirakan Candi Gampingan merupakan tempat pemujaan agama Buddha aliran Mahayana.

 

Candi Bubrah

Candi Bubrah

Bubrah09 4.jpg 

Candi Bubrah adalah salah satu candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di antara Percandian Rara Jonggrang dan Candi Sewu. Secara administratif, candi ini terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. (wikimapia)
Dinamakan 'Bubrah' karena keadaan candi ini rusak (bubrah dalam bahasa Jawa) sejak ditemukan. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno, satu periode dengan Candi Sewu.
Candi ini mempunyai ukuran 12 m x 12 m terbuat dari jenis batu andesit, dengan sisa reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat ditemukan masih terdapat beberapa arca Buddha, walaupun tidak utuh lagi.

 

Candi Brahu

Candi Brahu

Brahu Temple Trowulan.jpgCandi Brahu merupakan salah satu candi yang terletak di dalam kawasan situs arkeologi Trowulan, bekas ibu kota Majapahit. Tepatnya, candi ini berada di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, atau sekitar dua kilometer ke arah utara dari jalan raya Mojokerto—Jombang.

Asal Nama

Nama candi ini, yaitu 'brahu', diduga berasal dari kata wanaru atau warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu. 

Bangunan

Candi Brahu dibangun dengan batu bata merah, menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18 m, dan berketinggian 20 meter.
Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha. Diperkirakan, candi ini didirikan pada abad ke-15 Masehi meskipun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa candi ini berusia jauh lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan.

Fungsi sebagai krematorium

Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok bertanggal 9 September 939 (861 Saka), Candi Brahu disebut merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja. Akan tetapi, dalam penelitian tak ada satu pakar pun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Hal ini diverifikasi setelah dilakukan pemugaran candi pada tahun 1990 hingga 1995.

Sekitar Candi

Diduga di sekitar candi ini banyak terdapat candi-candi kecil. Sisa-sisanya yang sebagian sudah runtuh masih ada, seperti Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong. Saat penggalian dilakukan di sekitar candi banyak ditemukan benda benda kuna, semacam alat-alat upacara keagamaan dari logam, perhiasan dari emas, arca, dan lain-lainnya.

 

Candi Banyunibo

Candi Banyunibo

 

Candi Banyunibo (yang berarti air jatuh-menetes dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari Kota Yogyakarta ke arah Kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.
Bangunan candi ini bernama Candi Banyunibo yang berada tidak jauh dari kompleks Ratu Boko, Candi Barong dan Candi Ijo. Bahkan di sekitar candi ini pun banyak dijumpai situs candi yang berserakan di beberapa dusun sekitarnya.
Candi ini diketemukan dalam keadaan runtuh dan kemudian mulai digali dan diteliti pada tahun 1940-an. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.

Deskripsi

Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha. Arti nama candi ini yaitu Banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) walaupun di candi ini tidak ada tetesan air ataupun sumber air di sekitar candi. Candi Banyunibo termasuk bangunan suci Buddha yang cukup kaya akan hiasan (ornament). Hampir pada setiap bagian candi diisi oleh bermacam-macam hiasan dan relief, meskipun bagian yang satu dengan yang lain sering ditemukan motif hiasan yang sama.
Hiasan pada kaki candi. Dinding kaki candi Banyunibo masing-masing sisi dibagi menjadi beberapa bidang. Bidang tersebut kemudian diisi dengan pahatan berupa hiasan tumbuh-tumbuhan yang keluar dari pot bunga. Candi utama menghadap ke barat dan terletak di antara ladang tebu dan persawahan.
Dari puing-puing di sekitar, diperkirakan ada 6 buah candi perwara (candi pendamping) berbentuk stupa di sekeliling candi utama di sebelah selatan dan timur. Candi utama menghadap ke barat dan terletak di antara ladang tebu dan persawahan. Sayangnya candi perwara ini tidak terbuat dari batu andesit melainkan batu putih yang mudah sekali aus. Di sebelah utara candi, terdapat tembok batu sepanjang 65 m membujur dari barat ke timur. Reruntuhan candi perwara berupa stupa diperkirakan berdiameter sekitar 5 m.

 

Situs Ratu Baka

Situs Ratu Baka

Ratuboko Gate.jpg 

Situs Ratu Baka (Bahasa Jawa: Candhi Ratu Baka) adalah situs purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Luas keseluruhan komplek adalah sekitar 25 ha.
Situs ini menampilkan atribut sebagai tempat berkegiatan atau situs pemukiman, namun fungsi tepatnya belum diketahui dengan jelas. Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) dari Kerajaan Medang (Mataram Hindu). Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton (istana raja). Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleks ini bukan candi atau bangunan dengan sifat religius, melainkan sebuah istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan. Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini.
Nama "Ratu Baka" berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Baka (Bahasa Jawa, arti harafiah: "raja bangau") adalah ayah dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada komplek Candi Prambanan.
Secara administratif, situs ini berada di wilayah Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan terletak pada ketinggian hampir 200 m di atas permukaan laut.
Situs ini dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

 

Riwayat

Situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, yang menyatakan terdapat reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko. Bukit ini sendiri merupakan cabang dari sistem Pegunungan Sewu, yang membentang dari selatan Yogyakarta hingga daerah Tulungagung. Seratus tahun kemudian baru dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch, yang dilaporkan dalam Keraton van Ratoe Boko. Dari sinilah disimpulkan bahwa reruntuhan itu merupakan sisa-sisa keraton.
Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M merupakan bukti tertulis yang ditemukan di situs Ratu Baka. Dalam prasasti ini menyebut seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana atau Rakai Panangkaran (746-784 M), serta menyebut suatu kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara ("wihara di bukit yang bebas dari bahaya"). Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan, salah satunya dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M. Rakai Panangkaran menganut agama Buddha demikian juga bangunan tersebut disebut Abhayagiri Wihara adalah berlatar belakang agama Buddha, sebagai buktinya adalah adanya Arca Dyani Buddha. Namun demikian ditemukan pula unsur–unsur agama Hindu di situs Ratu Boko Seperti adanya Arca Durga, Ganesha dan Yoni.
Tampaknya, kompleks ini kemudian diubah menjadi keraton dilengkapi benteng pertahanan bagi raja bawahan (vassal) yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni. Menurut prasasti Siwagrha tempat ini disebut sebagai kubu pertahanan yang terdiri atas tumpukan beratus-ratus batu oleh Balaputra. Bangunan di atas bukit ini dijadikan kubu pertahanan dalam pertempuran perebutan kekuasaan di kemudian hari.
Di dalam kompleks ini terdapat bekas gapura, ruang Paseban, kolam, Pendopo, Pringgitan, keputren, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi.

Keistimewaan Situs Ratu Boko

 

Berbeda dengan peninggalan purbakala lain dari zaman Jawa Kuno yang umumnya berbentuk bangunan keagamaan, situs Ratu Boko merupakan kompleks profan, lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung.
Berbeda pula dengan keraton lain di Jawa yang umumnya didirikan di daerah yang relatif landai, situs Ratu Boko terletak di atas bukit yang lumayan tinggi. Ini membuat kompleks bangunan ini relatif lebih sulit dibangun dari sudut pengadaan tenaga kerja dan bahan bangunan. Terkecuali tentu apabila bahan bangunan utamanya, yaitu batu, diambil dari wilayah bukit ini sendiri. Ini tentunya mensyaratkan terlatihnya para pekerja di dalam mengolah bukit batu menjadi bongkahan yang bisa digunakan sebagai bahan bangunan.
Kedudukan di atas bukit ini juga mensyaratkan adanya mata air dan adanya sistem pengaturan air yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kolam pemandian merupakan peninggalan dari sistem pengaturan ini; sisanya merupakan tantangan bagi para arkeolog untuk merekonstruksinya.
Posisi di atas bukit juga memberikan udara sejuk dan pemandangan alam yang indah bagi para penghuninya, selain tentu saja membuat kompleks ini lebih sulit untuk diserang lawan.
Keistimewaan lain dari situs ini adalah adanya tempat di sebelah kiri gapura yang sekarang biasa disebut "tempat kremasi". Mengingat ukuran dan posisinya, tidak pelak lagi ini merupakan tempat untuk memperlihatkan sesuatu atau suatu kegiatan. Pemberian nama "tempat kremasi" menyiratkan harus adanya kegiatan kremasi rutin di tempat ini yang perlu diteliti lebih lanjut. Sangat boleh jadi perlu dipertimbangkan untuk menyelidiki tempat ini sebagai semacam altar atau tempat sesajen.

Taman Wisata Ratu Boko

Pemerintah pusat sekarang memasukkan komplek Situs Ratu Boko ke dalam otorita khusus, bersama-sama dengan pengelolaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan ke dalam satu BUMN, setelah kedua candi terakhir ini dimasukkan dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO. Sebagai konsekuensinya, Situs Ratu Boko ditata ulang pada beberapa tempat untuk dapat dijadikan tempat pendidikan dan kegiatan budaya.
Terdapat bangunan tambahan di muka gapura, yaitu restauran dan ruang terbuka (Plaza Andrawina) yang dapat dipakai untuk kegiatan pertemun dengan kapasitas sekitar 500 orang, dengan vista ke arah utara (kecamatan Prambanan dan Gunung Merapi). Selain itu, pengelola menyediakan tempat perkemahan dan trekking, paket edukatif arkeologi, serta pemandu wisata.

 

Candi Ijo

Candi Ijo

Candi Ijo.JPG Candi Ijo adalah sebuah kompleks percandian bercorak Hindu, berada 4 kilometer arah tenggara dari Candi Ratu Boko atau kita-kira 18 kilometer di sebelah timur kota Yogyakarta. Candi ini diperkirakan dibangun antara kurun abad ke-10 sampai dengan ke-11 Masehi pada saat zaman Kerajaan Medang periode Mataram

Lokasi

Candi Ijo terletak di Dukuh Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Candi ini berada lereng barat sebuah bukit yang masih merupakan bagian perbukitan Batur Agung, kira-kira sekitar 4 kilometer arah tenggara Candi Ratu Boko. Posisinya berada pada lereng bukit dengan ketinggian rata-rata 375 meter di atas permukaan laut. Candi ini dinamakan "Ijo" karena berada di atas bukit yang disebut Gumuk Ijo. Kompleks percandian membuka ke arah barat dengan panorama indah, berupa persawahan dan bentang alam, seperti Bandara Adisucipto dan pantai Parangtritis.
Dataran tempat kompleks utama candi memiliki luas sekitar 0,8 hektare, namun kuat dugaan bahwa kompleks percandian Ijo jauh lebih luas, dan menjorok ke barat dan utara. Dugaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa ketika lereng bukit Candi Ijo di sebelah timur dan sebelah utara ditambang oleh penduduk, banyak ditemukan artefak yang mempunyai kaitan dengan candi.

Tata bangunan

Kompleks percandian Ijo dibangun pada punggungan bukit yang disebut Gumuk/Bukit Ijo. Nama ini telah disebut dalam prasasti Poh berangka tahun 906 Masehi berbahasa Jawa Kuna, dalam penggalan " ... anak wanua i wuang hijo ..." (anak desa, orang Ijo)

Kompleks candi

Secara keseluruhan, kompleks candi merupakan teras-teras berundak, dengan bagian terbawah di sisi barat dan bagian tertinggi berada pada sisi timur, mengikuti kontur bukit. Kompleks percandian utama berada pada ujung timur. Di bagian barat terdapat reruntuhan bangunan candi yang masih dalam proses ekskavasi dan belum dipugar. Setelah disela oleh kebun kecil, terdapat teras yang lebih tinggi dengan cukup banyak reruntuhan yang diperkirakan berasal dari sekumpulan candi-candi pemujaan kecil (candi perwara). Salah satu candi ini telah dipugar pada tahun 2013.

Kompleks percandian utama

Kompleks percandian utama terletak di bagian timur menempati teras tertinggi. Di bagian ini ada candi induk (satu telah dipugar), candi pengapit, dan candi perwara. Candi induk yang sudah selesai dipugar menghadap ke barat. Di hadapannya berjajar tiga candi yang lebih yang lebih kecil ukurannya yang diduga dibangun untuk memuja Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Ketiga candi perwara ini menghadap ke arah candi utama, yaitu menghadap ke timur. Ketiga candi kecil ini memiliki ruangan di dalamnya dan terdapat jendela kerawangan berbentuk belah ketupat di dindingnya. Atap candi perwara ini terdiri atas tiga tingkatan yang dimahkotai barisan ratna. Candi perwara yang berada di tengah melindungi arca lembu Andini, kendaraan Dewa Syiwa.

Candi induk

Bangunan candi induk berdiri di atas kaki candi yang berdenah dasar persegi empat. Pintu masuk ke ruang dalam tubuh candi terletak di pertengahan dinding sisi barat, diapit dua buah jendela palsu, yakni relung gawang jendela tapi tidak tembus berlubang pada ruangan di dalam. Pada dinding sisi utara, timur, dan selatan masing-masing terdapat tiga relung yang dihiasi ukiran kala makara. Relung yang tengah lebih tinggi dari dua relung yang mengapitnya. Relung-relung ini kini kosong, diduga mungkin dulu pada relung-relung ini pernah terpasang arca.
Untuk mencapai pintu yang terletak sekitar 120 cm dari permukaan tanah dibuat tangga yang dilengkapi dengan pipi tangga berbentuk sepasang makara, makhluk mitos berbentuk bertubuh ikan dan berbelalai seperti gajah. Kepala makara menjulur ke bawah dengan mulut menganga. Di atas ambang pintu terdapat hiasan kepala Kala bersusun. Pada bagian pintu masuk terdapat ukiran kala makara, berupa mulut raksasa kala yang tersambung makara. Pola kala-makara ini lazim ditemukan dalam ragam hias candi-candi Jawa Tengah. Sebagaimana yang terdapat di candi-candi lain di Jawa Tengah dan Yogyakarta, kedua kepala Kala tersebut tidak dilengkapi dengan rahang bawah. Di atas ambang kedua jendela palsu juga dihiasi dengan pahatan kepala Kala bersusun.
Di dalam mulut masing-masing makara terdapat relief burung bayan kecil. Jendela-jendela palsu ada bagian luar dinding utara, timur dan selatan, yaitu tiga buah pada masing-masing sisi. Ambang jendela juga dibingkai dengan hiasan sepasang makara dan kepala kala seperti yang terdapat di jendela palsu yang mengapit pintu.
Dalam tubuh candi induk ini terdapat sebuah ruangan. Di tengah dinding bagian dalam sisi utara, timur dan selatan masing-masing terdapat sebuah relung. Setiap relung diapit oleh pahatan pada dinding yang menggambarkan sepasang apsara yang terkesan terbang menuju ke arah relung. Tepat di tengah ruangan terdapat lingga dan yoni yang disangga oleh figur ular sendok. Makhluk yang berasal dari mitos Hindu ini melambangkan penyangga bumi. Penyatuan lingga dan yoni melambangkan kesatuan antara Syiwa dan Parwati shaktinya.
Atap candi bertingkat-tingkat tiga undakan, terbentuk dari susunan segi empat yang makin ke atas makin mengecil. Di setiap sisi terdapat deretan tiga ratna di masing-masing tingkat. Sebuah ratna berukuran lebih besar terdapat di puncak atap. Sepanjang batas antara atap dan dinding tubuh candi dihiasi dengan deretan pahatan dengan pola berselang-seling antara sulur-suluran dan gana (makhluk kerdil). Sepanjang tepi atap dihiasi dengan deretan antefiks dengan bingkai sulur-suluran. Dalam masing-masing bingkai terdapat arca setengah badan yang menggambarkan dewa dalam berbagai posisi tangan.

Candi Gunung Wukir

Candi Gunung Wukir

Candi Gunung Wukir, Candi Canggal, atau Shiwalingga adalah candi Hindu yang berada di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Lokasi

Candi ini berada di atas Bukit Wukir, yang oleh masyarakat sekitar disebut Gunung Wukir, di lereng barat Gunung Merapi. Lokasi ini berada di sebelah timur laut kota Muntilan. Candi Gunung Wukir dapat dicapai dengan angkutan umum ke arah Kecamatan Ngluwar hingga desa Kadiluwih, yang disambung dengan berjalan kaki ke atas bukit.

Sejarah

Candi ini merupakan candi tertua yang dapat dihubungkan dengan angka tahun. Berdasarkan prasasti Canggal yang ditemukan pada tahun 1879 di reruntuhan, candi ini didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka). Prasasti ini memiliki banyak informasi berkait dengan Kerajaan Medang atau Mataram Hindu. Berdasarkan prasasti ini, Candi Gunung Wukir mungkin memiliki nama asli Shiwalingga atau Kunjarakunja.

Arsitektur

Kompleks tempat reruntuhan candi ini berada mempunyai ukuran 50 m × 50 m. Bangunan candi sendiri terbuat dari jenis batu andesit setidaknya terdiri atas satu candi induk dan tiga candi perwara. Selain prasasti, di kompleks candi ini juga ditemukan yoni, lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Nandi.

Candi Gunungsari

Candi Gunungsari

 

Candi Gunungsari atau Candi Gunung Sari adalah candi Hindu Siwa yang terletak di Dusun Gunungsari, Desa Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Lokasi candi ini berada di puncak Bukit Sari (Gunung Sari), tidak jauh dari Candi Gunung Wukir tempat ditemukannya Prasasti Canggal.
Dilihat dari ornamen, bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua daripada Candi Gunung Wukir.