Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian
pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki
tersembunyi. Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat
pada kurun 1890–1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk
mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah
membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini:
Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga
anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan
dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada
1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur
kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur
kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di
sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung,
gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan
memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga,
semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan
hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama
dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800
Gulden.
Pemugaran
dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan
dipimpin Theodor van Erp. Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah
di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu.
Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di
bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat
diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan
sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan
dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang
memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih
seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya
menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak
dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra.
Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur.
Akibat
anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan
tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan
dan kerusakan. Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal
garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan
dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih
lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan
sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada
akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada
masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen
ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat. Pemerintah
Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini
dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Pondasi diperkokoh dan
segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan
membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase
dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air
ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen
dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS. Setelah renovasi,
UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun
1991. Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas
manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam
nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah
budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang
monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi)
"secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi
yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik
dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa"
Peristiwa kontemporer
Setelah
pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO, Borobudur kembali
menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan
purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari
suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa
pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi
menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia dan
upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan
dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.
Pada
21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom. Pada 1991
seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al
Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian
serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi
Borobudur. Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun
penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.
Monumen
ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia.
Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya adalah wisatawan
mancanegara telah mengunjungi monumen ini. Angka ini meningkat hingga mencapai
2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada
pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial Asia 1997. Akan tetapi
pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga
beberapa konflik lokal kerap terjadi. Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala
kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan
puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks
mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'. Upaya masyarakat setempat untuk
mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan
jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari
nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang
cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya;
meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks
candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar
cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur
semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan
6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini
menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi
Borobudur tetap utuh.
Pada
28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban)
digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian
Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara
mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam,
dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran sendratari kolosal
"Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan
dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya,
menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini,
sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya
menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik
Indonesia.
UNESCO
mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur:
(i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian
tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang.
Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan
struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling parah, karena tidak
saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak
bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan. Meningkatnya popularitas
stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia.
Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun,
pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme
berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini
jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah
wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan harus
didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.
Rehabilitasi
Borobudur
sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan November 2010. Debu
vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer
(17 mil) arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik
mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in) menutupi bangunan candi kala
letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar, dan para
ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak
batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010
untuk membersihkan luruhan debu.
Mencermati
upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah
menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi.
Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu
sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di
lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Lebih dari 55.000 blok batu
candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang
tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir November
2011, lebih awal dari perkiraan semula.
Arsitektur
Borobudur
merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa.
Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan
mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur
megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan dari
periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli
Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar