Arsitektur
Borobudur
merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa.
Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan
mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur
megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan dari
periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli
Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.
Konsep rancang bangun
Pada
hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk
pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar
dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim
ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang
dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang
secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus
tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur
menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai
kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m
(400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam
teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk
lingkaran.
Pada
tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki
Borobudur. Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah
berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran
aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar
relief. Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk
pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya
diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen. Teori lain
mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki
asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan
tata kota. Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki
tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan,
estetik, dan teknis.
Ketiga
tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu
dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah".
Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk
memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur
tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini
tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan
sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur
batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000
meter kubik.
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada
dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300
gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir
dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian
Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di
atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam
relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan. Pada pagar
langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari
ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai
ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika
(stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran
relief.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief,
mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini
dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud).
Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas,
di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa,
namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa
kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa
besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3
teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa).
Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat,
satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak
bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih
tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak
terlihat.
Tingkatan
tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa
stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang.
Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna
atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai
patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada
patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan
pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam
proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang
dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama
yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu
kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak
terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu
andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen
ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan
disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama
sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti
balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan
dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk
"ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi
setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen
ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan
curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran
dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk
kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur
amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas
permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya
serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang
pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang
merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi
tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan
piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada
awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi. Stupa
memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang
stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha.
Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya
yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah
bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden
berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah
Indonesia.
Menurut
legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang
diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih berdasarkan dongeng dan
legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma
terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya
menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh
Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu
saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan
Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia
antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara
ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan
sepenuhnya. Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar
individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977
mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek
menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal
geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur. Rasio matematis ini
juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya.
Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan
makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di
candi Angkor Wat di Kamboja.
Struktur
bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak. Dasar
berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 m
(13 kaki). Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang
makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 m (23 kaki) dari
ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 m (6.6 kaki),
menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga
teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun
secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk
mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari permukaan tanah. Tinggi asli
Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah
42 m (140 kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi
mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui
serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang
dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang
menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur
pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal
untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga
pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
Relief
Pada
dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu —
dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.
Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan
selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap
sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha. Relief
Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh
yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia
mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang
mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa,
seringkali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut
"lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher,
pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki,
sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini
menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan
sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.
Relief
Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan,
rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk
bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab
yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog
meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9
dengan mencermati dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung,
lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka
tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti.
Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal
kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala.
Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum
Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur
Relief-relief
ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa
Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah
timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain
relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa
dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya,
mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka
secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama)
dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun
sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun
susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah
sebagai berikut.
Bagan
Relief
|
|||
Tingkat
|
Posisi/letak
|
Cerita
Relief
|
Jumlah
Pigura
|
Kaki candi asli
|
-----
|
Karmawibhangga
|
160
|
Tingkat I
|
dinding
|
a. Lalitawistara
|
120
|
b. jataka/awadana
|
120
|
||
langkan
|
a. jataka/awadana
|
372
|
|
b. jataka/awadana
|
128
|
||
Tingkat II
|
dinding
|
Gandawyuha
|
128
|
langkan
|
jataka/awadana
|
100
|
|
Tingkat III
|
dinding
|
Gandawyuha
|
88
|
langkan
|
Gandawyuha
|
88
|
|
Tingkat IV
|
dinding
|
Gandawyuha
|
84
|
langkan
|
Gandawyuha
|
72
|
|
Jumlah
|
1460
|
Secara
runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai
berikut :
Karmawibhangga
Sesuai
dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang
terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah
yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan
jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi
pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab
akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela
manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan
baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan
manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah
berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk
menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat
oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum
Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Jataka
adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran
Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti
sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari
makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni
kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.
Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan
dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan
Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan
Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab
Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau
seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana,
diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa
dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah
Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam
abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan
deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi
tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura
didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk
bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Arca Buddha
Selain
wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat
banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra
atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini
dipahat dari bahan batu andesit.
Patung
buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan
barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi
atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104
relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung.
Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu. Pada bagian Arupadhatu
(tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa
berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa,
pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya
total 72 stupa. Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah
rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini,
kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar
negeri).
Secara
sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan
halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat
lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah,
kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat
pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat,
dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra
yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72
stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau
Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha;
masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar