Situs Ratu Baka
Situs Ratu Baka (Bahasa Jawa: Candhi Ratu Baka)
adalah situs purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan
yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Luas keseluruhan komplek adalah sekitar 25 ha.
Situs ini menampilkan atribut sebagai tempat berkegiatan atau situs
pemukiman, namun fungsi tepatnya belum diketahui dengan jelas. Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) dari Kerajaan Medang (Mataram Hindu). Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton
(istana raja). Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleks
ini bukan candi atau bangunan dengan sifat religius, melainkan sebuah
istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit
kering sebagai struktur pertahanan. Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini.
Nama "Ratu Baka" berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Baka (Bahasa Jawa, arti harafiah: "raja bangau") adalah ayah dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada komplek Candi Prambanan.
Secara administratif, situs ini berada di wilayah Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan terletak pada ketinggian hampir 200 m di atas permukaan laut.
Situs ini dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.
Riwayat
Situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, yang menyatakan terdapat reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko. Bukit ini sendiri merupakan cabang dari sistem Pegunungan Sewu, yang membentang dari selatan Yogyakarta hingga daerah Tulungagung. Seratus tahun kemudian baru dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch, yang dilaporkan dalam Keraton van Ratoe Boko. Dari sinilah disimpulkan bahwa reruntuhan itu merupakan sisa-sisa keraton.
Prasasti Abhayagiri Wihara
yang berangka tahun 792 M merupakan bukti tertulis yang ditemukan di
situs Ratu Baka. Dalam prasasti ini menyebut seorang tokoh bernama
Tejahpurnapane Panamkarana atau Rakai Panangkaran (746-784 M), serta menyebut suatu kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara
("wihara di bukit yang bebas dari bahaya"). Rakai Panangkaran
mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan
memusatkan pikiran pada masalah keagamaan, salah satunya dengan
mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M. Rakai
Panangkaran menganut agama Buddha demikian juga bangunan tersebut
disebut Abhayagiri Wihara adalah berlatar belakang agama Buddha, sebagai
buktinya adalah adanya Arca Dyani Buddha. Namun demikian ditemukan pula
unsur–unsur agama Hindu di situs Ratu Boko Seperti adanya Arca Durga,
Ganesha dan Yoni.
Tampaknya, kompleks ini kemudian diubah menjadi keraton dilengkapi
benteng pertahanan bagi raja bawahan (vassal) yang bernama Rakai Walaing
Pu Kumbayoni. Menurut prasasti Siwagrha
tempat ini disebut sebagai kubu pertahanan yang terdiri atas tumpukan
beratus-ratus batu oleh Balaputra. Bangunan di atas bukit ini dijadikan
kubu pertahanan dalam pertempuran perebutan kekuasaan di kemudian hari.
Di dalam kompleks ini terdapat bekas gapura, ruang Paseban, kolam, Pendopo, Pringgitan, keputren, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi.
Keistimewaan Situs Ratu Boko
Berbeda dengan peninggalan purbakala lain dari zaman Jawa Kuno yang
umumnya berbentuk bangunan keagamaan, situs Ratu Boko merupakan kompleks
profan, lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam
pemandian, hingga pagar pelindung.
Berbeda pula dengan keraton lain di Jawa yang umumnya didirikan di
daerah yang relatif landai, situs Ratu Boko terletak di atas bukit yang
lumayan tinggi. Ini membuat kompleks bangunan ini relatif lebih sulit
dibangun dari sudut pengadaan tenaga kerja dan bahan bangunan.
Terkecuali tentu apabila bahan bangunan utamanya, yaitu batu, diambil
dari wilayah bukit ini sendiri. Ini tentunya mensyaratkan terlatihnya
para pekerja di dalam mengolah bukit batu menjadi bongkahan yang bisa
digunakan sebagai bahan bangunan.
Kedudukan di atas bukit ini juga mensyaratkan adanya mata air dan
adanya sistem pengaturan air yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kolam pemandian merupakan peninggalan dari sistem pengaturan ini;
sisanya merupakan tantangan bagi para arkeolog untuk merekonstruksinya.
Posisi di atas bukit juga memberikan udara sejuk dan pemandangan alam
yang indah bagi para penghuninya, selain tentu saja membuat kompleks
ini lebih sulit untuk diserang lawan.
Keistimewaan lain dari situs ini adalah adanya tempat di sebelah kiri
gapura yang sekarang biasa disebut "tempat kremasi". Mengingat ukuran
dan posisinya, tidak pelak lagi ini merupakan tempat untuk
memperlihatkan sesuatu atau suatu kegiatan. Pemberian nama "tempat
kremasi" menyiratkan harus adanya kegiatan kremasi rutin di tempat ini
yang perlu diteliti lebih lanjut. Sangat boleh jadi perlu
dipertimbangkan untuk menyelidiki tempat ini sebagai semacam altar atau
tempat sesajen.
Taman Wisata Ratu Boko
Pemerintah pusat sekarang memasukkan komplek Situs Ratu Boko ke dalam otorita khusus, bersama-sama dengan pengelolaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan ke dalam satu BUMN, setelah kedua candi terakhir ini dimasukkan dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO.
Sebagai konsekuensinya, Situs Ratu Boko ditata ulang pada beberapa
tempat untuk dapat dijadikan tempat pendidikan dan kegiatan budaya.
Terdapat bangunan tambahan di muka gapura, yaitu restauran dan ruang
terbuka (Plaza Andrawina) yang dapat dipakai untuk kegiatan pertemun
dengan kapasitas sekitar 500 orang, dengan vista ke arah utara
(kecamatan Prambanan dan Gunung Merapi). Selain itu, pengelola menyediakan tempat perkemahan dan trekking, paket edukatif arkeologi, serta pemandu wisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar